(Kabare Bralink/Wisata) Ketua Pokdarwis Dieng Kulon Alif Faozy menyampaikan kiat-kiat. |
PURBALINGGA
– Membangun sebuah desa wisata, mulai dari penyiapan sumber daya
manusia (SDM) hingga pemasaran dan pelayanan kepada wisatawan, tidak
bisa dilakukan instan begitu saja. Butuh waktu dan proses yang
panjang. Kemajuan sebuah desa wisata, tergantung dari kemauan dan
kesadaran masyarakat untuk maju membangun desanya.
“Membangun
sebuah desa wisata, ibarat kita menanam tanaman. Suatu saat pasti
akan panen. Jangan berpikir sekarang dikembangkan, tidak terlalu lama
terus banyak wisatawan datang,” tegas Alif Faozy, ketua Kelompok
Sadar Wisata ‘Dieng Pandawa’, Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur,
Kabupaten Banjarnegara.
Alif
Faozy mengungkapkan hal tersebut saat menjadi nara sumber Focus
Group Discussion (FGD) ‘Pengembangan Kelembagaan dan Pemasaran
Desa Wisata’ di aula Bappeda, Senin (7/12).
Alif
yang belakangan sering diundang oleh Kementerian Pariwisata dan
Kementerian Desa Tertinggal untuk memberikan materi tentang
pemberdayaan masyarakat melalui sektor wisata mengungkapkan, sebelum
dibentuk kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Dieng Pandawa, pemuda di
Dieng Kulon hobinya berkelahi, dan mabuk-mabukan. Alif yang saat itu
dipercaya sebagai ketua karang taruna setempat harus berpikir agar
pemudanya memiliki aktivitas yang bernilai positif. Akhirnya, mulai
tahun 2006, ia membuat program kegiatan wisata untuk para pemuda.
Alif mulai membentuk kelompok pemuda pengelola wisata.
“Awalnya
tidak banyak pemuda yang tertarik, saya mencoba melakukan pendekatan
secara non formal kepada para pemuda. Setelah mulai sadar untuk
mencari lapangan pekerjaan dan tidak mabuk-mabukan, akhirnya
terbentuk kelompok sadar wisata,” kata Alif yang Pokdarwisnya
beberapa kali mendapat penghargaan tingkat Provinsi Jateng maupun
tingkat nasional.
Setelah
terbentuk tahun 2006, lanjut Alif, pihaknya mulai berkoordinasi dan
menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk dengan pihak hotel
di Wonosobo, dengan biro wisata, pers dan Dinas Pariwisata
Banjarnegara. Dari Dinas Pariwisata, saat itu hanya difasilitasi uang
tunai Rp 1,5 juta termasuk pajak, namun Alif tidak putus asa. Niat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak harus tergantung kepada
pemerintah.
“Saya
berusaha menjadi guide beberapa wisatawan yang datang ke
Dieng. Saya menjalin kerjasama dengan sejumlah hotel yang tamunya
akan berwisata ke Dieng. Ternyata, setelah bisa mendapat hasil dari
guide, dirinya dan teman-teman semakin bersemangat untuk terjun ke
dunia pariwisata,” katanya.
Pasca
dibentuk Pokdarwis Dieng Pandawa, tidak begitu saja langsung mendapat
wisatawan. Kunjungan wisatawan yang menggunakan jasa Pokdarwis Dieng
Pandawa mulai terlihat pada tahun 2010. Kemudian semakin tahun
semakin meningkat, dan panen raya kunjungan wisatawan mulai terasa
tahun 2012.
“Jadi,
jangan berharap membangun desa wisata langsung jadi begitu saja,
tetapi butuh waktu dan semangat kerja yang muncul dari kesadaran
pribadi dan masyarakat. Membangun desa wisata tidak bisa instan
begitu saja,” kata Alif yang mengaku kunjungan wisatawan yang
dilayani Pokdarwis-nya kini telah mencapai 400 ribu orang dalam tahun
2015.
Alif
juga menegaskan, desa wisata dibangun jangan hanya menunggu dana atau
bantuan dari pemerintah. Semua harus muncul dari masyarakat dan
kesadaran masyarakat. Jika desa wisata hanya mengandalkan bantuan
dari pemerintah saja, maka niscaya tidak akan hidup lama.
“Di
Purbalingga ternyata Pemkab begitu peduli dengan memberikan bantuan
fasilitasi tenaga dan bantuan keuangan, namun ketika saya mulai
membangun desa wisata, tidak ada bantuan seperti itu. Jadi sudah
semestinya desa wisata di Purbalingga yang didukung pemerintah akan
lebih maju dan berkembang,” kata Alif.
Alif
juga menegaskan, pengelola desa wisata jangan mempunyai pikiran
karena tidak digaji atau mendapat bengkok desa sehingga tidak mau
kerja untuk kemajuan desa wisatanya.
“Tadi
ada hal demikian yang diungkapkan oleh salah satu ketua Pokdarwis,
kalau sudah berpikiran demikian, maka saya yakin tidak akan maju.
Artinya, mereka belum memiliki kesadaran untuk terjun membangun desa
wisata. Toh jika kelak desa wisatanya sudah maju, semua pendapatan
kembali ke masyarakat, tidak ke pemerintah,” tegasnya.
Alif
menambahkan, pengelola desa wisata harus bisa membedakan mana wisata
di pedesaan, mana desa wisata. Desa wisata tidak harus memiliki obyek
wisata sendiri. Seperti halnya yang dilakukan Pokdarwis Dieng
Pandawa. Obyek yang dijual ada yang milik masyarakat seperti kebun
carica, pengolahan buah carica, homestay, kebun kentang, obyek
milik pemerintah seperti candi, museum kailasa, obyek milik desa
tetangga. Pokdarwis lebih berfungsi memfasilitasi daya tarik yang
unik itu untuk dikemas dan dijual kepada wisatawan.
“Pengelola
Pokdarwis disini fungsinya sekaligus sebagai fasilitator beberapa
obyek yang layak dijual, jadi tidak perlu memiliki sendiri,”
katanya.
Sementara
itu kepala Bappeda Purbalingga Ir Setiyadi, M.Si mengatakan, setelah
melalui evaluasi desa-desa wisata di Purbalingga, pihaknya akan
mengkaji langkah dan strategi lanjutan yang akan diberikan di tahun
mendatang. Jika memang desa wisata itu berkeinginan maju dan didukung
sumberdaya yang mumpuni, maka Pemkab akan terus mendukung.
“Kami
juga akan mengevaluasi perlunya penempatan tenaga fasilitator, dan
juga bantuan keuangan untuk pengembangan desa wisata,” katanya.
(Kabare
Bralink/Pariwisata).
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !