![]() |
(Kabare Bralink/detik.com) |
Banyumas
– Akhir-akhir pemberitaan bocah terserang penyakit aneh kian marak.
Lebih parahnya lagi, biaya untuk pengobatan penyakit-penyakit aneh
itu tidak sedikit. Banyak diantara mereka yang terpaksa memasang
iklan untuk permohonan bantuan.
Penyakit
aneh itu bisa menjerat siapa saja dan tak pandang bulu, entah dari
kalangan mana, penyakit itu tidak pernah berpikir harus hingga di
mana. Seperti yang dilansir oleh detik.com, bocah berumur 10 tahun
siswa kelas 3 SD N 2 Karangwangkal, Purwokerto Utara, juga mengiap
penyakit aneh. Bocah yang diketahui bernama Gus Deva itu tiba-tiba
sika dan perilakunya berubah.
Sekarang,
dia lebih banyak diam, kedua tangannya bergerak-gerak tanpa aturan.
Kaki kanannya juga tampak kesulitan berjalan tapi selalu bergerak.
Hal tersebut merupakan kondisi yang tidak wajar dari Gus Deva, anak
ketiga dari empat bersaudara. Ayahnya bernama Satim (42) dan ibunya
bernama Ratini (38). Kejadian tersebut dimulai sejak akhir November
2015 kemarin.
Ayahnya
yang kesehariannya menjadi pemulung, mendapat informasi dari
teman-teman sekolah anaknya, bahwa dia sempat terjatuh di selokan
sekolah ketika bermain. Tapi Deva tidak pernah bercerita soal
kejadian tersebut ke keluarga. Dia hanya diam dan diam.
“Kamis
berangkat sekolah, teman sekelas bilang Deva jatuh tapi cuma kakinya
saja di selokan. Saya perhatikan pulang sekolah biasa langsung main,
setelah itu mulai diam di rumah tidak kemana-mana. Hari Jumat dia
tidak berangkat sekolah, lalu hari Sabtu tidak berangkat lagi, ibunya
tanya Deva kok berubah, kok main-main lidah terus, tangannya
gerak-gerak sendiri, kakinya juga jalannya pincang,” kata Satim
kepada wartawan di rumahnya di RT 04 RW 03 Kelurahan Karangwangkal,
Minggu (13/12/2015).
Orang
tua Deva sempat membawa anaknya ke dokter. Namun dokter menyarankan
agar Deva dibawa ke Puskesmas untuk meminta surat rujukan ke RSUD
Margono Soekardjo agar diperiksa oleh dokter saraf.
“Saya
cuma punya uang Rp 50 ribu saat itu. Itu pun hasil mulung selama
empat hari. Bingung ongkos untuk ke rumah sakit, mau naik angkot
trayeknya tidak sama, akhirnya naik becak,” ujar Satim yang tinggal
di rumah berukuran 4x5 meter.
Deva
akhirnya diperiksa di RSUD Margono. Namun karena tidaak mempunyai
biaya yang cukup, Satim mengajukan pembayaran biaya pengobatan dengan
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Dokter
meminta Satim datang kembali menebus obat setelah hari kesepuluh
pemeriksaan medis. Namun pada 9 Desember, Satim tidak bisa membawa
pulang obat untuk anaknya.
“Hari
Rabu itu libur ternyata, saya tidak bisa nebus obat, ongkos untuk
naik ojek Rp 20 ribu juga sudah habis. Waktu itu anak saya masih bisa
jalan. Hari Kamis mau ke rumah sakit, saya sudah tidak punya uang
lagi,” tutur Satim.
Kondisi
Deva semakin parah karena obat yang seharusnya dikonsumsi, tidak bisa
dibawa pulang orang tuanya dari rumah sakit. Seluruh badannya sudah
tidak bisa dikontrol lagi, mulai dari tangan hingga kakinya bergerak
tanpa aturan. Duduk dan berdiri sudah tidak bisa dilakukan.
“Sudah
dua hari ini tidak bisa makan, kepalanya terus bergerak-gerak, kalau
pun makanan masuk pasti muntah, sampai dia lemas baru bisa dikasih
makan,” ujar Ratini.
Satim
dan Ratini makin kecewa karena Deva ditolak dirawat hanya karena
menggunakan Jamkesmas di RSUD Margono pada Sabtu (12/12).
“Hari
Sabtu kemarin, guru-guru Deva datang untuk membantu Deva berobat
karena melihat kondisinya yang sudah semakin lemas dengan seluruh
tubuh yang terus bergerak-gerak. Pertama dibawa ke RS DKT, di sana
disuruh langsung ke IGD RSUD Margono karena hanya di sana yang ada
dokter saraf,” ujar Ratini.
Endang,
guru SDN 2 Karangwangkal yang ikut mengantar Deva menyebut pelayanan
rumah sakit mengecewakan karena Deva dipingpong. Setelah sempat
dibuat kebingungan, dokter poli saraf menemui orang tua Deva dan
menghubungi dokter jaga di IGD agar dapat mendaftarkan Deva untuk
dirawat.
“Pas
datang pakai dragbar (tandu darurat) saja tidak boleh, Deva harus
digendong, saya paksa akhirnya dikasih pinjam. Di sana kita
diputar-putar, dilempar-lempar. Lalu di poli saraf, dokter saraf
menghubungi IGD dan bilang sudah telepon IGD supaya masuk nanti akan
di observasi. Tapi setibanya di IGD, doker jaga bilang tidak bisa
pakai Jamkesmas, bisanya pakai umum. Kalau pakai umum uang dari mana,
karena kita tidak bisa pakai umum, lalu kita disuruh pulang, apa
gunanya punya Jamkesmas kalau lihat kondisi anak sudah seperti ini
tapi malah disuruh pulang karena pakai Jamkesmas,” ujar Endang.
Saat
dikonfirmasi terkait kejadian ini, Kabag Umum RSUD Margono Soekarjo,
Nurekta mengatakan akan melakukan koordinasi dengan jajaran di rumah
sakit.
“Kami
akan melakukan klarifikasi ke semua bagian, apakah memang benar
seperti itu,” ujarnya.
Nurekta
menjelaskan ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan pasien pengguna
Jamkesmas belum mendapat pelayanan perawatan/medis salah satunya
belum lengkapnya persyaratan yang dibawa pasien.
“Kami
bukan membela diri. Pada prinsipnya kami tidak pernah menolak
pasien,” tegas Nurekta.
Menurutnya
prosedur perawatan pasien pada saat jam kerja memang harus melalui
poli.
“Kecuali
itu pasien kegawat daruratan. Saya rasa petugas di IGD sudah sangat
paham tentang itu,” imbuh dia.
Sementara
itu anggota DPRD Kabupaten Banyumas dari Komisi D, Yoga Sugama
mengatakan rumah sakit harusnya memberikan pelayanan kepada semua
orang meskipun menggunakan Jamkesmas.
“Kejadian
semacam ini mencoreng potret dunia kesehatan, karena itu Gubernur,
Kadinkes Provinsi dan management RSUD Margono harus segera melakukan
klarifikasi dan menindak tegas kepada oknum tersebut,” ujar Yoga.
(Kabare
Bralink/detik.com)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !