“Biyunge, mendoane wis mateng
urung? Aja kesuen inyong wis kencot, aja kelalen cengise yah. Teh angete sisan” (Ibu – bisa merujuk ke istri atau ibu -, mendoanya udah
matang belum? Jangan terlalu lama saya sudah lapar, jangan lupa cabe rawit
hijaunya, teh anget sekaian)
Percakapan itu sering muncul menghiasi
hari-hari di keluarga wong Banyumas. Tlatah ‘Banyumasantara’ itu
meliputi Banyumas (Purwokerto), Purbalingga, Cilacap dan Banjarnegara. Mendoan
memang makanan kebangsaan warga pang-inyong-an.
Hari tanpa mendoan bagaikan dangdut tanpa joget, hambar! Mendoan itu seperti
sudah mendarah daging dengan orang-orang yang berbicara ngapak itu, ikatan
batin antar mereka begitu kuat bagai Romi dan Yuli. Banyumas itu mendoan,
mendoan itu ya Banyumas.
Padahal, mendoan, sebenarnya makanan yang
amat sederhana, membuatnya pun mudah. Mendoan hanya tempe tipis dicelup imut
kedalam adonan tepung + bumbu + muncang / daun bawang cincang, kemudian
digoreng setengah matang. Masih lembek-lembek gitu sudah diangkat dan tiriskan
sebentar saja. Mendo artinya lembek, jadi, mendoan itu ya harus lembek.
Oh ya, FYI, mendoan yang asli menggunakan
tempe lentreng, tempe tipis dibungkus daun pisang
yang memang dibuat khusus untuk mendoan.
Kemudian, sajikan mendoan saat masih panas.
Huh hah, penampakannya saja sudah membangkitkan gairah. Tempe berselimut tepung
mengkilat dengan minyak yang belum tuntas ditiris, bak Sofia Latjuba
berkeringat habis fitnes, so hot
beibeh.. . Aromanya, hmmh… mengelitik sensor dihidung untuk bilang
ke otak, gurih banget ini broo. Lalu lalu, pasangaannya kawin banget pula,
chemistry-nya dapet: mendoan anget berpadu dengan lombok cengis dan kecap
hitam manis.. oh nooo, auchh…uenake pool!. Kalau Mas Bondan Winarno punya istilah Mak
Nyuus, saya punya istilah lebih locally untuk menggambarkan makanan sedap ini, Mak
Nyooong!
Tiba-tiba, kenikmatan makan mendoan
terganggu belakangan ini. Musababnya, mendoan dipatenkan sama orang (ya iya lah
masa sama alien), mendoan diprivatisasi, mendoan mau dimonopoli. Kurang ajar
sekali orang ini, tlonyoran, offside banget dia. Berani-beraninya
mau memonopoli Mendoane Inyong, makanan
kebangsaan dan kebanggaan Ngapakers?!. Saya pun tanpa berpikir panjang
turut dalam petisi menolak privatisasi mendoan. #SaveMendoan!
Setelah ramai di media, pemerintah kemudian
angkat bicara. Ditjen Kekayaan Intelektual KemenkumHAM menyatakan kalau orang
yang bernama Fudji Wong memang pemegang hak eksklusif merek dagang ‘Mendoan’
dengan sertifikat IDM000237714. Dia mendaftarkan merek itu sejak 23 Februari
2010 dan akan berlaku hingga 15 Mei 2018. Merek ini masuk dalam Kelas 29 dan
tempe mendoan masuk dalam kategori ini.
Oh merek dagang doang? Jadi,
pedagang-pedagang tempe tak harus membayar royalti kepada Pak Fudji Wong. Saya
cukup lega, akan tetapi belum plong. Pasalnya,
berdasarkan UU Merek, pemegang merek bisa menggugat siapa pun yang memakai
mereknya. Lah, kalau Bu Mahmud pasang spanduk di warung tenda di alun-alun
Purbalingga : ‘Jual Mendoan’, bisa dituntut dong? Kalau Bu Mahmud mau
mengembangkan usahanya jualan Mendoan online bisa dipenjara dong?. Wheladalah,
dadine tetep ora bener kiye…
Jadi, saya tetap tidak setuju mendoan
diprivatisasi atau merk dagangnya dipegang eklusif sama perorangan. Mendoan itu
milik wong banyumas,
kekayaan kuliner Indonesia. Jadi harus dilestarikan dan tidak
bisa/boleh/dibolehkan untuk dimonopoli pihak-pihak tertentu. Syukurlah, Pak
Fudji Wong sendiri sudah sadar dan secara lisan telah menyampaikan kepada
publik akan mencabut merek tersebut.
Terakhir, saya setuju dengan kalimat dalam
petisi #SaveMendoan yang digagas Mas Rujiyanto disini https://www.change.org/p/ditjen-haki-hentikan-privatisasi-mendoan-dan-nama-nama-generik-humas-kumham :
“Semoga pihak-pihak yang berwenang, terutama KemenkumHAM dapat mengambil
langkah strategis untuk mengantisipasi hal-hal ini terjadi lagi. Bilamana perlu
pemerintah melalui departemen terkait bisa segera mengambil langkah untuk
menyelamatkan aset-aset budaya kuliner yang sangat beragam di Indonesia”
Miris kan bila suatu saat nanti sroto,
ondol, cenil, awug-awug, grontol, nagasari, lemet, clorot, carabikang, srabi,
intil, manggleng, ampyang, empal gentong, tahu gejrot, rendang dan makanan
tradisional lainya dipatenkan sama orang, diprivatisasi, dimonopoli, apalagi
sama asing. Tentu kita masih ingat ihwal geger Tempe dipatenkan di Jepang dan
Amerika Serikat kan?
Jadi, mari kita cintai kuliner dalam
negeri, ayo peduli terhadap khasanah kuliner Indonesia.
Salam Kencot!
Oleh @Igoendonesia (Kabare Bralink)
Tulisan ini juga dimuat di kompasiana : http://www.kompasiana.com/igoendonesia/mendoane-inyong_564078f7ef9273b405f46eff
Alamat pa brik dimana
ReplyDelete