![]() |
PURBALINGGA - Perkembangan
dunia digital telah merubah pola pandang masyarakat dalam
berinteraksi dan mengaktualisasi diri. Tahun 80 hingga 90-an banyak
anak muda yang menggunakan media buku diary sebagai sarana
curhat. Buku diary bersifat sangat pribadi, sehingga tidak jarang
para pemilik mengunci atau menyimpanya rapat-rapat. Tidak boleh satu
orang pun tahu permaslahan dirinya. Kalaupun harus curhat maka
biasanya hanya sahabat-sahabat terdekat saja yang menjadi teman
curhat. Model curhatan dengan sahabat mungkin sngat berbeda dengan
model anak muda di korea selatan yang cenderung hidup individualis.
Sangat jarang ditemukan curhatan sesama sahabat. Mereka merasa hidup
masing-masing sudah berat dengan beban permaslahan individu
masing-masing. Beratnya beban hidup dan langkanya sandaran curhat
menjadikan angka bunuh diri di negara tersebut cukup tergolong
tinggi. Kini di dalam era digital, banyak orang menjadikan sosial
media sebagai ajang mengaktualisasikan diri hingga tak sadar menjadi
ajang curhatan. Puas rasanya bila “derita atau permasalahan”
hidup ditumpahkan dan di beri perhatian sesama teman di sosial media.
Setiap
orang kini telah merubah pola pandang bersosialisasi lebih terbuka,
tidak membedakan SARA. Bagi orang-orang yang 'mengkotakkan' diri
akan tersingkir dengan sendirinya. Pola sosilisasi yang lebih
terbuka ini lebih dikenal dengan pola inclusive. Masing-masing
masyarakat mulai menerima sebuah perbedaan. Saat zaman sebelum
reformasi, hal-hal SARA menjadi hal yang tabu untuk didiskusikan. Tak
jarang sekelompok orang merasa lebih tinggi dibanding kelompok orang
yang lain, begitu juga sebaliknya.
Kondisi
pola inclusive yang menerima perbedaan ini berimbas pada dunia
pariwisata. Dengan terbukanya pola inclusive ini gugurlah
nilai-nilai perbedaan yang mengakibatkan cemoohan sebuah karakter
pada kelompok masyarakat tertentu. Kini perbedaan tersebut menjadi
sebuah nilai keunikan. Bagi sekelompok masyarakat cerdas perbedaan
bahasa dan kebudayaan menjadi sebuah nilai jual tersendiri untuk
tampil mengenalkan kelompok etnisnya. Kebanggaan untuk dikenal justru
tumbuh. Sebuah Nikmat, fitrah dan kebenaran Qalam Illahi yang telah
menciptakan hambanya berbeda-beda memang untuk dikenal.
Melirik
sebuah argumen seseorang yang menyayangkan munculnya aktualisasi
masyarakat akan Bahasa Ngapak sebagai identitas
kebanggaan masyarakat Banyumasan mungkin wajar-wajar saja. Bagi saya
pribadi mencoba berpikir bijak karena memang masih banyak elemen
masyarakat yang belum menyadari perubahan zaman ini. Mungkin dahulu
Bahasa Ngapak merupakan bahan cemoohan bagi sebagian masyarakat lain,
tapi kini saat zaman digital dan pola inclusive telah menjadi mazhab
banyak orang, maka perbedaan tersebut menjadi nilai unik untuk
menjual diri bahwa kelompok masyarakan berbahasa ngapak memang unik
dan punya nilai jual. Kita mungkin cukup terperangah dengan
kenyataan yang ada akan keberadaan Bahasa Ngapak, seperti yang
dituturkan pemerhati budaya banyumasan yaitu bpk Ahmad Tohari, yang
dilansir di wikipedia.
“Dalam
kenyataan sehari-hari keberadaan basa banyumasan termasuk dialek
lokal yang sungguh terancam. Maka kita sungguh pantas bertanya dengan
nada cemas, tinggal berapa persenkah pengguna basa banyumasan 20
tahun ke depan? Padahal, bahasa atau dialek adalah salah satu ciri
utama suatu suku bangsa. Jelasnya tanpa basa banyumasan sesungguhnya
wong penginyongan boleh dikata akan terhapus dari peta etnik bangsa
ini.”
Belajar
dari seorang komedia Tukul Arwana, mungkin sebuah kisah kongkrit di
depan mata kita, bagaimana bliau dahulu menjadi artis “agak beken”
yang dianggap tidak punya nilai jual sehingga saat main ketoprak pun
selalu hanya sebagai pelengkap. Ke-“katrok”-kan beliau menjadi
ajang cemoohan. Kini kita tahu bahwa kesuksesan pundi-pundi
pendapatan rupiah beliau setiap tahunnya konon separuh pendapatan
David Beckham. Kemampuan melihat karakter “ndeso”-nya beliau yang
dulu memalukan dan sekarang menjadi nilai jual tentunya hanya
dimiliki oleh orang-orang pencari bakat, tentunya yang sudah
menguasai pola inclusive.
Contoh
lain saat jaman perbudakan, orang-orang kulit putih tentunya
memandang rendah bangsa Afrikano yang konon pabrik budak bagi
masyarakat kulit putih. Para kaum ningrat kulit putih sudah tentu
akan malu dan tidak mungkin mengikuti kebudayaan apalagi aksen-aksen
bicara para budak. Kini kita tahu kebudayaan Afrika menjadi nilai
jual tersendiri oleh para kaum muda modern yang berkiblat dengan
paradigma inclusive. Kita bisa lihat tarian, nyanyian, dan bahkan
film; seperti madagaskar memiliki aksen bahasa bangsa Afrika. Kita
tahu film madagaskar telah menembus box office. Nilai jual yang
tinggi untuk kebudayaan Afrika yang dulu menjadi ikon kaum rendahan
dan kini menjadi pelajaran yang baik bagi kita yang masih
terperangkap dalam dunia ekslusive.
Kini,
banyak film yang senang menggunakan bahasa Inggris dengan aksen
Afrika, siapa tahu di kelak kemudian hari ada film layar lebar
berbahasa Inggris beraksen Ngapak berhasil menembus box office
hollywood.
(Kabare
Bralink/Ery)
Pengirim
naskah : Dino Setiyadi
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !