PURBALINGGA – Wisata
saat ini merupakan sektor penting yang ada di Purbalingga. Pemasaran wisata pun
harus mengikuti jalannya perkembangan zaman dan minat dari wisatawan sendiri.
Untuk itu, dalam memajukan desa wisata bukan tergantung pada orang lain atau
pemerintah. Jangan hanya berharap, pemerintah yang membangun sebuah desa
menjadi desa wisata, tetapi semua kembali pada masyarakat di desa itu sendiri.
Hal itu yang terungkap pada saat
kunjungan studi banding kepala desa, pengelola desa wisata dan Kelompok Sadar
Wisata (Pokdarwis) Purbalingga ke Desa wisata Ponggok, Kecamatan Polanharjo,
Kabupaten Klaten, dan Desa wisata Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung
Kidul, Rabu – Kamis (1-2/6). Studi komparatif yang diikuti 30 peserta itu didampingi oleh anggota Komisi III DPRD,
Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Dinbudparpora), dan Bappeda
Purbalingga.
Kepala Bidang Pariwisata
Dinbudparpora Purbalingga, Ir. Prayitno, M.Si yang memimpin rombongan tersebut
mengungkapkan, studi banding ini setidaknya membuka pemahaman dan cara berpikir
para kepala desa dan pengelola desa wisata, bahwa pengembangan desa wisata,
tidak hanya menggantungkan bantuan dari pemerintah.
“Pemerintah tentu tidak akan tinggal diam,
jika masyarakat sudah bergerak mengembangkan desanya menjadi desa wisata. Sama
halnya di Kabupaten Klaten dan Gunung Kidul. Jangan berpikir, untuk memulai
mengembangkan desa wisata harus menunggu bantuan dulu dari pemerintah.
Pelajaran dari dua desa yang kami kunjungi, mereka berangkat dari persoalan
awal yang kompleks untuk membangun sebuah desa wisata,” kata Prayitno, Jum’at
(3/6).
Di Desa Ponggok, Polanharjo, ketika
awal membuat umbul yang kini terkenal dengan snorkeling dan kolam renang,
masyarakatnya apatis. Alokasi dana desa (ADD) yang hanya 150 juta dari Pemkab
Klaten, tidak mungkin digunakan untuk mengembangkan umbul itu. Masyarakat tidak
mau diajak untuk menanamkan modal melalui saham yang dijual. Persoalan itu akhirnya terselesaikan dengan
membangun kesadaran dan komunikasi yang intensif antara kepala desa dengan
warga masyarakatnya. Kini setelah umbul ponggok menghasilkan pendapatan sekitar
Rp 6,1 miliar per tahun, masyarakat berebut untuk memiliki saham.
Hal serupa juga sama di Desa
Bleberan, Gunungkidul, ketika mulai mencetuskan ide mengembangkan potensi desa
sebagai desa wisata. Tidak ada warga yang tertarik untuk bergabung. Pengelola
yang dibentuk awal sekitar 40 orang, hanya sebatas lembaga saja yang tidak
bergerak sama sekali. Disisi lain, pendapatan desa yang hanya Rp 1 juta per
tahun dari administrasi surat menyurat, semakin membuat semangat mengembangkan
desa wisata mengendor.
“Uniknya
di Desa Bleberan, mereka bisa bangkit karena merasa kepepet, terpojok dengan
keadaan. Penghasilan masyarakat minim, lahan pertanian sebagian besar hanya
dari lahan tadah hujan, pekarangan gersang, sementara disisi lain harus
mencukupi kebutuhan hidup. Dari
persoalan yang kompleks inilah, mereka bangkit, mencari solusi dan bekerja
keras membangun desa wisata,” kata Prayitno.
Hal lain yang bisa dipetik
pelajaran juga, di Desa Bleberan, bantuan pemerintah lebih pada infrastruktur.
Tidak ada bantuan keuangan yang khusus untuk pengembangan desa wisata. Namun
justru, pihak desa kini mampu meraup pendapatan dari wisata sebesar Rp 1,9
miliar pada tahun 2015, sudah mampu menyetor Rp 210 juta ke Pemkab Gunung Kidul
sebagai PAD sektor pariwisata,” kata Prayitno.
Sementara itu, dalam dialog dengan
kepala Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo, Junaedi Mulyono mengungkapkan,
pengelolaan umbul Ponggok menjadi pendapatan utama desa. Dengan pendapatan itu,
warga kini dapat menikmati berbagai kesejahteraan mulai dari jaminan kesehatan
yang dibayar oleh desa utuk strata kelas III, bantuan beasiswa ‘satu
rumah satu mahasiswa’, jaminan sosial, asuransi pertanian, jaringan
wifi gratis di semua RT, dan kesempatan memiliki saham.
“Untuk
terus mempertahankan umbul ponggok sebagai penyumbang utama pendapatan desa,
kami terus gencar melakukan promosi yang unik dan menarik. Misalnya, nanti
ketika peringatan hari Adyaksa, kami akan membuat foto tentang sidang dibawah
kolam, kemudian saat HUT RI, nanti kami juga akan mengambil foto upacara
didalam air. Umbul Ponggok identik dengan aktifitas didalam air, maka setiap
momen penting kami promosikan dari dalam air,” kata Junaedi.
Dalam kesempatan terpisah,
pengelola desa wisata Bleberan Triharjono mengungkapkan, ketika mulai membuka
desanya menjadi desa wisata, kekhawatiran warga masyarakat sangat tinggi.
Apakah ada pengunjung yang mau datang ke desa, apakah homestay yang telah
disiapkan akan laku, dan sejumlah kekhawatiran lainnya. “Untuk memancing
wisatawan datang, kami terpaksa pula membuat wisatawan bohongan, warga diminta
datang ke desa, dan difoto untuk promosi. Ternyata, setelah dipromosikan
melalui berbagai media, banyak wisatawan sungguhan yang datang, dan bahkan
ketagihan,” katanya.
Triharjono yang juga mantan kepala
desa Ponggok selama 18 tahun itu menambahkan, untuk membangun desa wisata tidak
perlu menunggu bantuan dari pihak lain, tetapi mulai dari desa sendiri dan
secepatnya. “Kalau kami harus menunggu bantuan, mungkin tidak akan terwujud
desa wisata Bleberan. Semua kembali pada kerja keras perangkat desa, pengelola
desa dan warga masyarakat, tentunya harus ada orang yang menjadi penggeraknya,”
kata Triharjono.
Triharjono menambahkan, dengan
perkembangan desa wisata Bleberan, kini pihak ketiga dari perbankan bahkan
sudah mulai memberikan CSR, seperti dari Bank BNI yang membantu Rp 400 juta,
dan Bank BCA yang membantu Rp 100 juta.
“Kami
juga mendapat tenaga relawan dari Korea, untuk pemberdayaan perempuan dan
pengembangan potensi desa wisata,” tambahnya.
(Kabare
Bralink/Humas)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !