PURBALINGGA
– Pembangunan wisata di Purbalingga saat ini sudah cukup bagus
dan meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Pola wisata pun telah
berubah dari pola motivasi wisatawan mulai bergeser dari wisata
massal (mass tourism) ke wisata alternatif (alternative tourism).
Pola wisata alternatif digambarkan dengan kunjungan ke daya tarik
wisata baru yang unik, dengan nuansa alam dan terdapat budaya
setempat. Pada wisata alternatif, wisatawan mendapat pengalaman baru
yang tidak bisa dijumpai pada wisata massal. Pola ini mulai terlihat
dengan menurunnya jumlah kunjungan wisata ke lokasi wisata populer di
beberapa kota di Indonesia pada libur lebaran lalu.
”Wisata alternatif lebih fokus
pada spirit konservasi alam, pemberdayaan masyarakat lokal dan
pengembangan fasilitas wisata dalam skala kecil,” kata Pengelola
desa wisata Pentingsari, Sleman, Yogyakarta, Doto Yogantoro pada
acara Focus Group Discussion (FGD) pengembangan desa wisata di bale
seni budaya Desa wisata Kedungbenda, Kecamatan kemangkon,
Purbalingga, Senin (18/7). FGD yang diselenggarakan Bappeda
bekerjasama dengan Dinbudparpora Purbalingga diikuti para pelaku desa
wisata, fasilitator pendamping desa wisata, para kepala desa lokasi
desa wisata dan camat lokasi desa wisata.
Doto mengatakan, wisata massal
biasanya orientasinnya wisatawan melihat banyak tempat dengan
motivasi bersenang-senang. Masyarakat dan budaya hanya sebagai
tontonan, dan pengembangan fasilitas wisata yang ada pada skala
besar.
“Pada
wisata massal, wisatawan cenderung mengunjungi daya tarik wisata yang
sudah populer. Sementara, pada wisata alternatif, wisatawan
menginginkan pengalaman baru yang tidak dijumpai pada wisata massal,”
kata Doto Yogantoro yang dipercaya sebagai konsultan pengembangan
desa wisata di sejumlah provinsi dan kementerian.
Dikatakan juga oleh Dota,
pengembangan desa wisata yang gencar dilakukan oleh Pemkab
Purbalingga merupakan strategi yang tepat dalam pengembangan wisata
alternatif. Konsep desa wisata menjadi hal yang tepat yang bisa
mengembangkan potensi desa dan sekaligus memberdayaan masyarakat.
“Strategi
pengembangan desa wisata sangat menarik, bahkan tiga kementrian ikut
ambil bagian dalam pengembangan desa wisata. Kementrian itu yakni
Kementerian Pariwisata dengan konsep wisata perdesaan, kemudian
Kementrian Koperasi dan UKM dengan konsep desa wisata hijau, dan
Kementerian Desa Tertinggal dengan konsep pemberdayaan nmasyarakat
desa wisata. Semua konsep itu mengarah pada pengembangan desa
wisata,” kata Doto.
Konsep wisata desa dan desa wisata
harus dipahami secara jelas. Wisata Desa merupakan bentuk kegiatan
wisata yang membawa wisatawan pada pengalaman untuk melihat dan
mengapresiasi keunikan kehidupan dan tradisi masyarakat di pedesaan
dengan segala potensinya. Sedang desa wisata merupakan suatu wilayah
dengan luasan tertentu dan memiliki potensi keunikan daya tarik
wisata yang khas dengan komunitas masyarakatnya yang mampu
menciptakan perpaduan berbagai daya tarik wisata dan fasilitas
pendukungnya untuk menarik kunjungan wisatawan, termasuk didalamnya
kampung wisata karena keberadaannya di daerah kota.
Doto mengakui, untuk membangun
sebuah desa wisata memang penuh tantangan yang berat. Tantangan
justru kebanyakan berasal dari masyarakat di desa itu sendiri. Doto
menceritakan pengalamannya mengelola Desa wisata Pentingsari yang
saat ini omsetnya sudah mencapai Rp 2,4 miliyar dalam satu tahun.
Konflik di desa wisata biasanya setelah muncul setelah mulai ada
pemasukan uang.
“Selain
itu, ada masyarakat yang merasa pintar, tapi kepintarannya itu tidak
untuk mengembangkan bersama desa wisata, tetapi justru malah
menganggu dan mencibir. Dalam mengembangkan desa wisata, tidak perlu
orang pinter dan keminter, tetapi orang yang mau bekerja keras dan
terbuka,” tegas Doto.
Perkembangan desa wisata di
Purbalingga sudah cukup bagus, jika dibandingkan di Kabupaten Sleman.
Perkembangan desa wisata di Sleman sudah stagnan, drai 130-an desa
wisata hanya 30 persennya saja yang bertahan. Konflik biasanya muncul
setelah pembagian pendapatan tidak transparan, dan masyarakat tidak
terkena dampak langsung atas kunjungan wisata ke desa. Doto
mencontohkan, konflik di pengelolaan Goa Pindul sudah mulai terbuka,
lorong goa yang hanya berjarak 300 meter, sekarang sudah diperebutkan
oleh 10 operator.
“Pengalaman
ini harus diambil hikmahnya bagi desa-desa yang wisata yang mulai
berkembang seperti di Purbalingga,” katanya.
Doto menambahkan, pihaknya
mengapresiasi langkah Pemkab Purbalingga yang antar SKPD (Satuan
kerja Perangkat Daerah) bisa bekerjasama dengan baik mengembangkan
desa wisata. Seperti yang dilakukan pada FGD, antara Bappeda dan
Dinbudparpora (Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga),
bisa duduk bersama membahas persoalan pengembangan desa wisata dan
sekaligus solusinya.
“Saya juga mengapresiasi atas
ide-ide Pemkab yang mengawal pengembangan desa wisata dengan
memberikan bantuan keuanbgan khusus dan menempatkan tenaga
fasilitator pendamping desa wisata. Ini baru ada di Purbalingga, dan
akan kami sampaikan pada forum pertemuan desa wisata nasional dan
forum konsultasi yang mengundang kami,” pungkas Doto.
(Kabare
Bralink/Wisata)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !