PURBALINGGA – Ritual
pengambilan air dari mata air (Tuk) Sikopyah yang sudah menjadi
tradisi masyarakat di Desa Serang Kecamatan Karangreja setiap
memperingati tahun baru Hijriah tak sekadar ritual budaya semata.
Namun ritual yang kini dilakukan oleh ribuan masyarakat baik tua
maupun muda sejatinya menanamkan semangat cinta lingkungan dan
melestarikan alam sumber kehidupan.
Bupati Tasdi mengatakan,
kegiatan Festival Gunung Slamet (FGS) yang sudah menjadi agenda
tingkat kabupaten, tidak saja bertujuan membangun silaturahmi dan
kebersamaan, namun menjadi upaya bagaimana mengajak kaum muda untuk
melestarikan alam semesta.
“Hari ini tidak sekadar
melihat anak-anak muda kita datang ke Sikopyah, mengambil air
menggunakan Lodong (tempat air dari bambu-red) dan nantinya dibagikan
kepada masyarakat. Tapi ini mengandung pengertian bahwa anak-anak
muda kita juga harus berperan bagaimana kedepan lingkungan ini harus
lestari. Kita tanamkan pengertian itu melalui ritual ini,” kata
Bupati Tasdi didampingi Wakil Bupati Dyah Hayuning Pratiwi dan Ketua
DPRD Tongat, saat menerima lodong berisi air Tuk Sikopyah untuk
disemayamkan di komplek Balai Desa setempat, Kamis (21/9).
Menurut Bupati, semua orang di
kabupaten Purbalingga ini termasuk dirinya, harus menggunakan konsep,
membangun hari ini untuk menyelamatkan masa depan. Jangan sampai
membangun namun merusak alam yang nantinya justru akan merugikan masa
depan anak cucu kita.
“Ini harus diubah. Membangun
hari ini harus menyelamatkan masa yang akan datang. Jangan
sebaliknya, membangun tapi anak cucu kita justru kebagian
bencananya,” katanya, sembari menambahkan dalam kegiatan FGS akan
dilakukan penanaman 30.000 pohon penghijauan di lima desa sekitar.
Kepala Desa Serang, Soegito
mengaku, keberadaan air Tuk Sikopyah sangat bermanfaat bagi kehidupan
bukan saja warga desa Serang. Namun air Tuk Sikopyah tersebut telah
dimanfaatkan oleh hampir 10 ribu warga di tiga desa yakni Serang dan
Kutabawa, kecamatan Karangreja, Purbalingga serta Desa Gombong
Kecamatan Belik, kabupaten Pemalang.
Tradisi pengambilan air Tuk
Sikopyah selain menjadi upaya pelestarian budaya dan pariwisata juga
pelestarian lingkungan. Setelah adanya FGS sebagai kegiatan budaya,
kita perkuat dengan adanya peraturan desa yang mewajibkan seluruh
komponen warga untuk menjaga kelestarian mata air Sikopyah. “Sanksi
bagi yang melanggar Perdes dan tetap menebang pohon dilingkungan
Sikopyah, kita kenakan denda Rp 5 juta,” jelasnya.
Intinya, lanjut Soegito, daerah
disekitar mata air Sikopyah harus tetap hijau dan mampu menjadi
sumber kehidupan masyarakat disekitarnya.
Sementara itu, menurut tokoh
desa setempat Kyai Samsudin (61), tradisi meruwat mata air Sikopyah
sudah dilakukan sejak lama. Sejak dirinya masih kecil, lanjut
Samsudin, masyarakat sudah melakukan tradisi pengambilan air Tuk
Sikopyah.
“Sekarang sudah tiga kali
dilakukan dalam skala lebih besar,” katanya.
Menurut Kyai Samsudin,
pesan-pesan melestarikan lingkungan dan memperbanyak shalawat menjadi
pesan inti dalam setiap penyelenggaraan ritual air Tuk Sikopyah.
“Pesan-pesan itu sudah ada
secara turun temurun, dan dipercaya oleh masyarakat disini. Makanya
ada tradisi seperti ini, sampai sekarang,” jelasnya.
Dikatakan Kyai Samsudin,
menurut sejarahnya, sumber Tuk Sikopyah merupakan peninggalan dari
tokoh penyebar agama islam di wilayah itu, Mbah Haji Mustofa yang
memiliki padepokan di salah satu pedukuhan Gunung Malang, Serang.
Saat Haji Mustofa bertapa atau semedi di tempat itu, ia sempat
berwudhu. Selesai wudhu, kopiahnya (peci) sempat tertinggal.
“Namun
ketika H Mustofa kembali lagi untuk mengambilnya, kopiah tersebut
sudah tidak ada. Dari situlah, menurut cerita, sumber air yang ada
kemudian diberi nama sumber Sikopyah,” jelasnya.
(Kabare Bralink/Hms)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !