Diskusi Wong Alas Di Pedalaman Hutan Purbalingga ( Dok. PPA Gasda) |
Wong Alas atau Suku Pijajaran atau disebut juga sebagai
Suku Carang Lembayung merupakan kisah turun temurun yang beredar di kalangan
masyarakat sepanjang koridor pegunungan sebelah utara Purbalingga yang
membentang dari Desa Gunung Wuled, Panusupan, Tanalum di Rembang, kemudian ke
Desa Sirau dan Kramat di Desa Tunjungmuli
lalu di Desa Jingkang, Kecamatan Karangjambu dan Gondang, Kecamatan
Karangreja hingga perbatasan dengan Desa Watukumpul yang masuk wilayah
Kabupaten Pemalang.
Banyak versi kisah suku tersebut, juga berbagai
persentuhan dengan mereka yang berkelindan antara legenda (folklore), mistis dan mitos sehingga keberadaan Wong Alas tersebut
masih menjadi misteri hingga sekarang. Kabut masih menyelimuti mereka yang mengundang
penasaran khalayak. Mereka ini hanya sekedar mitos berbalut mistis belaka atau
fakta yang benar adanya?
Itulah yang coba didiskusikan tadi malam, Minggu, 19
November 2017 di Aula Kedai Kebun, Purbalingga. Berbagai elemen masyarakat,
seperti, pecinta alam, budayawan, akademisi, birokrasi, pemerhati dan
masyarakat lainya berbagi pengalaman, testimoni dan pengetahuan untuk menyibak
kabut keberadaan Wong Alas di pedalaman hutan Purbalingga. Diskusi berlangsung
gayeng sampai larut malam yang dipandu oleh Direktur Institut Negeri Perwira,
Indaru Setyo Nurprojo.
Suasana Diskusi (Dok PPA Gasda) |
Kisah yang umum beredar, asal muasal legenda Suku
Pijajaran tak bisa lepas dari Syekh Jambu Karang. Ia tadinya adalah bangsawan dari Kerajaan
Pajajaran bernama Raden Mundingwangi yang menyepi sampai ke wilayah Pegunungan
Ardi Lawet. Rombongan mereka bertemu
dengan Syekh Atas Angin, seorang penyebar agama Islam dan terjadi adu ilmu
kesaktian. Raden Mundingwangi kemudian kalah dan menyatakan diri masuk Islam serta
berganti nama menjadi Syech Jambu karang. Namun, ada sebagian rombonganya yang tidak mau
mengikuti keyakinan baru pimpinannya itu dan memilih untuk tetap menetap di
hutan belantara. Inilah yang menjadi Suku Pijajaran atau Wong Alas tersebut.
Saat ini, petilasan Syekh Jambu Karang ada di Desa
Panusupan, Kecamatan Rembang dan menjadi salah satu obyek wisata religius yang
banyak dikunjungi peziarah. Namanya juga diabadikan menjadi salah satu nama
jalan utama di sekitar alun-alun Purbalingga. Sementara, Makam Syekh Atas Angin
juga ada di Desa Gunung Wuled, Kecamatan Rembang.
Berlatar cerita tersebut, masyarakat di sekitar
pegunungan Ardi Lawet meyakini keberadaan mereka hingga kini. Namun mereka dinilai
bukanlah manusia biasa seperti kita, melainkan manusia yang memiliki kelebihan
khusus. “Suku Pijajaran disebut manusia setengah harimau dan memiliki berbagai
kemampuan supranatural sehingga masyarakat menghormatinya dan enggan untuk
bersentuhan dengan mereka. Saya meyakini mereka itu ada, akan tetapi tidak
seperti kita,” kata pemerhati Sejarah Purbalingga, Catur Purnawan.
Ciri fisik Suku Pijajaran, keta Catur, seperti manusia
biasa. Hanya saja mereka tidak memiliki tumit atau cenderung berjalan jinjit
dan tidak memiliki ‘gumun’ alias lekukan dibawah hidung.
Catur, yang leluhurnya berasal dari Desa Jingkang,
Kecamatan Karangjambu juga mengaku sudah pernah berada di perkampungan Wong
Alas. “Saya pernah berada disana tetapi kemudian setelah keluar berubah menjadi
hutan belantara lagi, Katanya.
Persentuhan dengan Wong Alas
Fariz, warga Desa Kramat, Kecamatan Karangmoncol masih
ingat betul kejadian sekitar 5 tahun silam. Ia dan rombonganya dicegat orang
yang tidak dikenal saat melintasi hutan. Mereka meminta seekor ayam yang
dibawanya. “Kami sampai rebutan ayam dengan mereka,” katanya. Rombongan orang
tersebut, kata Fariz, memiliki ciri-ciri yang sama dengan manusia biasa hanya
berpakaian seadanya dan tidak banyak bicara.
Beberapa waktu kemudian, Ia bertemu dengan mereka tiga
tahun kemudian di desa dan sesepuh desa menyebut mereka sebagai Wong Alas. “Jadi,
dua kali saya bertemu dengan mereka, menurut sesepuh desa mereka Wong Alas dan
dipimpin oleh seseorang bernama Cawing Tali, ” katanya.
Kris Hartoyo Yahya, politisi yang juga aktivis lingkungan
juga tak bisa melupakan kejadian tahun 1999. Saat itu, Ia baru saja pulang
seusai melakukan kegiatan politik di Desa Sirau dan sekitarnya. Nahas, waktu
sudah tengah malam, mobilnya mogok ditengah jalan.
“Akses jalan dari dan ke Sirau tahun itu masih sangat
jelek, mobil saya 4 WD mogok ditengah jalan. Tiba-tiba ada serombongan orang
yang menolong untuk mendorong mobil saya. Setelah lepas dari jalan dan mobil
bisa dihidupkan kembali, mereka pergi begitu saja,” katanya.
Ia tidak yakin bahwa mereka adalah warga sekitar. “Saat
itu sudah jauh dari perkampungan, saya rasa mereka bukan warga sekitar.
Komunikasi yang terjadi antara kita juga minim. Mereka membantu tanpa pamrih.
Saya ucapkan maturnuwun, mereka membalas sekedarnya lalu pergi begitu saja,”
katanya.
Lalu, Apakah mereka wong Alas? “Saya tidak begitu
memperhatikan, namun saya rasa bukan warga sekitar,” ujar Kris yang juga
Direktur Puspahastama, Perusahaan Daerah yang menangani soal pangan.
Taufik Katamso, sesepuh Perhimpunan Pecinta Alam (PPA)
Gasda yang sejak tahun 1998 telah mengumpulkan berbagai macam informasi
mengenai keberadaan mereka mengungkapkan memang banyak laporan mengenai
perjumpaan dengan Wong Alas. Penduduk Dusun Karanggintung, Desa Panusupan
seringkali kedatangan tamu mereka. “Biasanya mereka datang untuk meminta makan
atau rokok,” katanya.
Wong Alas, kata dia, tidak mengenal kulonuwun (permisi) sehingga akan masuk jika ada rumah warga yang
pintunya terbuka. “Ini yang sering kali mengangetkan penduduk, mereka tiba-tiba
ada di rumah,” katanya. Bahkan, ada cerita salah satu Wong Alas perempuan yang masuk
ke rumah, menggendong balita berumur 2 tahunan yang ditinggal ibunya ke dapur.
Wong Alas tersebut akhirnya diterima oleh tuan rumah dan menjadi pengasuh
balita itu meskipun hanya selama dua minggu.
Kemudian, Ia juga menceritakan Wong Alas sudah mulai
memenuhi kebutuhan di luar kebutuhan primernya melalui barter dengan warga
sekitar. “Ada serombongan Wong Alas yang menjual kain belacu dan lalu membeli
sabun cuci. Ketika ditanya untuk apa, mereka menjawab untuk mencuci rambut,”
katanya.
Taufik juga menambahkan ada Wong Alas remaja bernama
Gimin yang sempat menjadi tukang cuci piring di warung warga sekitar untuk
sekedar mendapatkan makan.
Lalu apakah terjadi regenasi Wong Alas? Taufik juga
menceritakan ada perjumpaan warga dengan anak-anak yang diduga Wong Alas. Ada
cerita warga pencari sarang semut yang bertemu dengan anak-anak yang tengah
mencari laba laba air dan kepiting di sungai kecil di tengah hutan. “ketika
dipanggil mereka lari dan masuk ke dalam hutan. Warga meyakini mereka bukanlah
anak-anak dari desa sekitar,” katanya.
Dengan berbagai cerita perjumpaan tersebut, Taufik
meyakini bahwa mereka merupakan kelompok masyarakat yang tinggal di pedalaman
hutan Purbalingga. Mereka memenuhi struktur masyarakat karena terdiri atas
laki-laki, perempuan dan ada juga yang masih remaja, bahkan anak-anak. Mereka
juga hidup berkelompok, Ia mengidentifikasi setidaknya ada 2 kelompok Wong Alas
yang ada di pedalaman hutan Purbalingga. Pertama, Kelompok pimpinan Cawing Tali
dan Minarji seperti yang dijumpai oleh Fariz, dan Kelompok San Klonang.
Masyarakat sekitar hutan juga seringkali berinteraksi
dengan mereka. Akan tetapi, masyarakat menaruh hormat dan enggan untuk
memberikan informasi kepada khalayak luas karena takut akan hal-hal mistis dan
mitos yang menyelimuti mereka. “Masyarakat khawatir mereka terganggu dan terkena
malapetaka jika mereka marah, sehingga enggan membagi informasi tentang mereka,”
katanya.
Suatu ketika, di Dusun Tundagan, Desa Watukupul pernah
ada salah satu Wong Alas perempuan yang meninggal akibat makan umpan beracun
untuk babi hutan. Pimpinan mereka yang dikenal dengan nama San Klonang kemudian
marah dan mengancam warga. Esoknya, 35 ekor kambing milik warga ditemukan mati.
“Hal seperti inilah yang mereka hindari sehingga enggan untuk bercerita
mengenai Wong Alas, masyarakat tidak mau merusak harmoni dengan mereka,”
katanya.
Gunanto Eko Saputro, lulusan Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor juga menilai jika Wong Alas alias Suku Pijajaran alias Suku
Carang Lembayung kemungkinan besar merupakan masyarakat yang tinggal di
pedalaman hutan Purbalingga. “Jika mencermati ciri-ciri, perjumpaan dan
interaksi yang terjadi dengan masyarakat sekitar hutan, kemungkinan besar
mereka memang komunitas yang tinggal di pedalaman hutan Purbalingga,” katanya.
Pria yang menyelesaikan master di Magister Ilmu
Lingkungan, Universitas Jenderal Soedirman itu menilai berbagai informasi dan
testimoni masyarakat menunjukan bahwa mereka manusia biasa. “Ada yang sampai ‘magang’
menjadi tukang cuci piring, mengasuh balita dan membeli sabun cuci untuk
mencuci rambut, saya pikir ini aktivitas manusia biasa, bukan manusia
jadi-jadian atau jin,” katanya.
Hutan Koridor Siregol yang diduga menjadi hunian mereka
juga masih relatif terjaga. Perbukitan tersebut yang sering disebut sebagai
Amazonya Purbalingga itu memiliki hutan yang masih alami dengan berbagai tebing
curam yang jarang dijamah manusia. “Bisa jadi mereka tinggal dikawasan
tersebut, mungkin masih ada tempat tersembunyi atau gua yang bisa menjadi
tempat tinggal mereka, “ katanya.
Hutan Koridor Siregol, Amazonya Purbalingga (www.swaraowa.com) |
Lebih lanjut, Gunanto menilai asal muasal Suku Pijajaran
mirip dengan Suku Baduy dan Kasepuhan yang ada di pegunungan Kendeng dan
Halimun Jawa Barat. “Asalnya kok ya kebetulan sama, dari kerajaan Pajajaran
yang menyingkir dan kemudian menjadi komunitas di pedalaman hutan,” kata
Gunanto yang pernah meneliti Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug di Pegunungan
Haimun untuk skripsinya.
Oleh karena itu, kata dia, menjadi bukan kebetulan jika
banyak nama tempat ‘berbau’ Sunda disekitar Ardi Lawet yang diduga menjadi wilayah
Suku Pijajaran. Ada Sungai Kahuripan (kehidupan), Sungai Ideng atau Hideung
(Hitam) dan Gunung Cahyana (cahaya), Dukuh Tundagan (menunda).
Ekspedisi
Untuk menyingkap berbagai misteri tersebut, Camar Rembang
Suroto yang ikut hadir dalam diskusi tersebut mengusulkan ekspedisi atau
penelitian secara komprehensif melibatkan berbagai stakeholder. “Selama ini
belum ada bukti otentik mengenai keberadan mereka, saya pikir jawabanya harus
dengan ekspedisi,” katanya.
Menurutnya, dalam ekspedisi tersebut harus ada
antropolog, arkeolog, sejarawan dan juga ahli lainya yang terkait serta tak
lupa ahli yang mengetahui kehidupan metafisik agar kabut keberadaan Suku Pijajaran
bisa tersingkap.
Iqbal Fahmi, anggota PPA Gasda juga mendukung ekspedisi
sebagai jawaban atas misteri Wong Alas. Namun, Iqbal menekankan pentingnya
kehati-hatian dalam ekspedisi tersebut. “Kita harus mempersiapkan semuanya dengan
baik. Setelah mereka diketahui lalu apa?,” katanya.
Menurutnya, setelah terungkap, mitos maupun fakta
nantinya, mereka dan kawasan hutan yang menjadi hunianya harus dilindungi
dengan baik. Sementara saat ini, status kawasan yang diduga menjadi hunian
mereka masih berupa hutan produksi di bawah Perum Perhutani yang sewaktu-waktu
bisa berubah.
Lebih lanjut, kawasan hutan di zona serayu utara itu juga menjadi sedikit
kawasan hutan alami yang masih tersisa di Purbalingga. Kawasan hutan tersebut
menjadi habitat bagi Owa Jawa, Elang Jawa, Rangkong, Macan Kumbang serta diduga
masih ada Harimau Jawa yang merupakan spesies langka dilindungi. “Ada atau
tidak ada Wong Alas, kawasan tersebut tetap harus dilindungi. Jika perlu
ditetapkan menjadi kawasan konservasi dengan peraturan yang lebih kuat,” ujar
pria yang juga berprofesi sebagai jurnalis tersebut.
Taufik Katamso juga menekankan untuk melakukan pendekatan
kearifan lokal jika nantinya terbuka peluang interaksi dengan mereka. “Jangan
dipaksakan mereka harus memenuhi standar kita. Biarkan mereka hidup dengan
kearifan lokalnya dan hidup harmonis dengan alam,” katanya.
Untuk itu, memang perlu untuk mengetahui keberadaan
mereka karena ancaman perubahan kawasan hutan sudah mulai terasa. Penebangan
kayu dan fragmentasi hutan menjadi pemukiman, persawahan semakin nyata.
Pemerintah desa dan pemerintah daerah setempat juga sudah mulai melirik untuk
menjadi kawasan eko wisata. “Ini perlu diantisipasi agar kawasan hutan ini
tetap lestari,” katanya.
Harapannya setelah semua terungkap adalah bisa dicapai
kesepakatan bersama untuk menjaga kelestarian alam juga harmoni dengan semua
mahluk yang menghuninya di dalamnya. Seperti disampaikan oleh Suku Pijajaran
bahwa mereka ada sebagai penjaga. Salah satunya, tentu saja adalah penjaga
kelestarian alam dan keseimbangan di dalamnya.
Salam Lestari, Lestari Hutanku, Lestari Alamku, Lestari
Indonesiaku
NB : artikel ini juga dimuat di Kompasiana
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !